Merumuskan 19 derajat di ufuk timur dan barat sebagai titik fajar dan senja, dia patahkan pula teori Ptolemeus tentang melihat, yang semula dikira mata memancarkan cahaya, menjadi bahwa pantulan cahaya pada bendalah yang ditangkap mata. Dalam kajiannya, dia juga berhasil merumuskan kedudukan cahaya terhadap kaca seperti pembiasan dan pembalikan.
Ibn Al Haitham juga merintis pembakaran kuarsa untuk dijadikan kaca, dan menemukan padu-padan lensa serta prinsip kerja kamera. Awalnya, untuk mempelajari gerhana, Al-Haitham membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui permukaan datar. Inilah yang disebut “Al Kamrah”, yang kemudian dialih bahasa menjadi “Kamera Obscura” atau fenomena ruang gelap. Teori yang dicetuskan Ibn Al Haitham ini telah mengilhami penemuan film yang disambung-sambung dan dimainkan.
Adalah Johannes Kepler (1571-1630) yang memperkenalkan istilah dan konsep ini ke barat. Terinspirasi, pada tahun 1827 Joseph Nicephore Niepce di Prancis mulai menciptakan kamera permanen. Sekira 60 tahun kemudian George Eastman mengembangkan kamera yang lebih canggih pada zamannya.
Tapi ‘kamera’ tercanggih yang selalu harus kita waspadai adalah yang merekam hidup kita, dari baligh sampai mati, tanpa kenal habis baterai dan penuh memori. Raqiib. ‘Atiid.
Sebab hasil tayangan kamera itu akan diputar pada hari yang disebut Yaumul Hisab. Gambaran nikmat di satu sisi yang terakui, dan tayangan semua ‘amal perbuatan di sisi lain. Maka rasa malu yang menyergap karena begitu banyak karunia Allah kita gunakan untuk mendurhakaiNya, akan merembeskan begitu banyak keringat dingin di sekujur badan.
Ruahan peluh itu, demikian Nabi ﷺ menggambarkan, akan menenggelamkan para hamba sesuai berapa banyak ‘amal memalukan yang tertayangkan. Ada yang berkecipak hingga mata kaki, menggenang hingga pinggang, dan membeludak hingga pundak. Ya, keringat kita sendiri.
Ternyata setiap kita adalah bintang film kehidupan yang tertuntut berakting sebaik peran. KarenaNya. Hanya karenaNya.
Ah, benarlah Sayyidina ‘Umar, “Siapa yang dihisab, maka sungguh dia telah di’adzab.” Maka Ya Allah, masukkan kami ke dalam golongan hamba-hambaMu yang masuk surga tanpa hisab.
Tapi ‘kamera’ tercanggih yang selalu harus kita waspadai adalah yang merekam hidup kita, dari baligh sampai mati, tanpa kenal habis baterai dan penuh memori. Raqiib. ‘Atiid.
Sebab hasil tayangan kamera itu akan diputar pada hari yang disebut Yaumul Hisab. Gambaran nikmat di satu sisi yang terakui, dan tayangan semua ‘amal perbuatan di sisi lain. Maka rasa malu yang menyergap karena begitu banyak karunia Allah kita gunakan untuk mendurhakaiNya, akan merembeskan begitu banyak keringat dingin di sekujur badan.
Ruahan peluh itu, demikian Nabi ﷺ menggambarkan, akan menenggelamkan para hamba sesuai berapa banyak ‘amal memalukan yang tertayangkan. Ada yang berkecipak hingga mata kaki, menggenang hingga pinggang, dan membeludak hingga pundak. Ya, keringat kita sendiri.
Ternyata setiap kita adalah bintang film kehidupan yang tertuntut berakting sebaik peran. KarenaNya. Hanya karenaNya.
Ah, benarlah Sayyidina ‘Umar, “Siapa yang dihisab, maka sungguh dia telah di’adzab.” Maka Ya Allah, masukkan kami ke dalam golongan hamba-hambaMu yang masuk surga tanpa hisab.
0 komentar:
Posting Komentar